Makalah Pendidikan Dalam Keluarga Serta Kudang kecepejakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan (Tinjauan Historis)
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk berbagi kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berbagi potensi penerima didik supaya menjadi insan yang memberikanman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, memberikanlmu, cakap, kreatif, sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung tpendapat.
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk berbagi kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berbagi potensi penerima didik supaya menjadi insan yang memberikanman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, memberikanlmu, cakap, kreatif, sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung tpendapat.
Salah salah satu ciri insan bermutu dan berkharisma dalam rumusan UU No. 20 Tahun 2003 di atas yakni mereka yang tangguh iman dan takwanya serta mempunyai watak mulia. Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan nasional yakni ketangguhan dalam iman dan takwa serta mempunyai watak mulia.
Menurut Tafsir (2002), bagi umat Islam, dan khususnya dalam pendidikan Islam, kompetensi iman dan takwa serta mempunyai watak mulia tersebut sudah usang disadari kepentingannya, dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, kompetensi iman dan takwa (imtak) serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), juga watak mulia diharapkan oleh insan dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Jadi, dalam pandangan Islam, kiprah kekhalifahan insan sanggup direalisasikan melalui tiga hal, yaitu:
1) Landasan yang berpengaruh berupa iman dan takwa
2) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
3) Akhlak mulia
Dengan demikian, berdasarkan Wahid (2007), dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, lantaran Quran dan Assunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam Quran yakni ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu umum merupakan hasil kesimpulan insan yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas sanggup penulis rumuskan permasalahan-permasalahan dalam makalah ini antara lain :
- Bagaimana proses pendidikan dalam keluarga?
- Bagaimana bentuk-bentuk keluarga yang menujunjung pendidikan
- Bagaimana kudang kecepejakan pemerintah dalam bidang pendidikan ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan kasus di atas sanggup penulis pahamai dan tentukan tujuan dari penyusunan makalah ini secara khusus adalah :
- Untuk mengetahui proses dalam bidang pendidikan
- Untuk mengetahui bentuk-bentuk keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan
- Untuk mengetahui kudang kecepejakan pemerintah dalam bidang pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan berdasarkan etimologi berasal darikata dasar didik. Apabila dimemberikan awalan me,njadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memmemberikan latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikanyang mempunyai arti proses perubahan sikap dan tingkah laris seseorangatau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan insan melalui upayapengajaran dan latihan.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam telahbanyak dikenal dengan memakai term yang beragam, sepertiat-Tarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Setiap term tersebutmempunyai pengertian dan klarifikasi dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-haltertentu, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pengertian.
Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengakajiannya dirujukberdasarkan sumber pokok pedoman Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah).Selain akan memmemberikankan pemahaman yang luas wacana pengertianpendidikan Islam secara substansial, pengkajian melalui al-Qur’andan al-Sunnahpun akan memmemberikan pengertian dan klarifikasi filosofis wacana bagaimanasebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut?
Dalam al-Qur’an Allah memmemberikankan sedikitgambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai arti mengasuh,menanggung, memmemberikan makan, mengembangkan, memelihara, membuat,membesarkan dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks al-Isra pengertian dan penjelasanat-Tarbiyah sedikit ludang kecepeh luas meliputi aspek jasmani dan rohani,sedangkan dalam surat asy-Syura hanya menyangkut aspek jasmani saja.
2. Pengertian Keluarga
Kata keluarga sanggup diambil kefahaman sebagaiunit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukanikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjagakeharmonisan kekerabatan satu dengan yang lain atau hubungansilaturrahim.
Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalahal-Usrohyang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mampunyai arti ikatan. Al- Razi mengatakanal-asru pengertian dan penjelasannya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segalasesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga yakni prosestransformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosialterkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budayayang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkanberbagai kudang kecepeasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat.
3. Bentuk-Bentuk Keluarga
Dalam norma pedoman sosial, asal-usul keluargaterbentuk dari perkawinan (laki-laki dan wanita dan kelahiranmanusia menyerupai yang ditegaskan Allah dalm surat an-Nisa ayat satuyang berbunyi:
Artinya: Dan Ia ciptakan dari padaNyapasanganny dan Ia tebarkan dari keduanya pria dan wanita yangbanyak (an-Nisa: 1)
Asal-usul ini bersahabat kaitannya dengan aturanIslam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia,hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh alasannya itu, pembentukankeluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatandosa.
Adapun bentuk-bentuk keluarga sebagaimanadijelaskan William J. Goode sanggup diklasifikasikan ke dalam beberapabentuk:
- Keluarga nuklir (nuclear family) sekelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum memisahkan diri membentuk keluarga tersendiri.
- Keluarga luas (extentended family) yaitu keluarga yang terdiri dari tiruana orang yang berketurunan dari kakek, nenek yang sama termasuk dari keturunan masing-masing istri dan suami.
- Keluarga mula dan akar (sistem family) yaitu jenis keluaarga yang memakai sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua, menyerupai banyak terdapat di Eropa pada zaman Feodal, para imigran Amerika Serikat, zaman Tokugawa di Jepang, seorang anak yang paling renta bertanggungtpendapat terhadap adik-adiknya yang wanita hingga ia berumah tangga, begitu pula terhadap saudara pria yang lainnya.
- Keluarga adonan (joint family) yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, mereka antara lain saudara pria pada setiap generasi, dan sebagai tekanannya pada saudara laki-laki, alasannya berdasarkan adat Hindu, anak pria semenjak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarganya.
Sementara itu dalam kekerabatan keluarga,Jalaluddin Rahmat mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modernbahwa biasanya sepasang suami istri mempunyai tiga struktur:
- Pertama, sruktur komplementer atau dengan kata lain dikenal dengan keluargatradisional.
- Kedua, struktur simetris atau yang sering disebut dengankeluarga modern.
- Ketiga, struktur pararel yang merupakan hubunganantara struktur simetris dan struktur komplementer yang kedu belahpihak tersebut saling metidak ada yang kurangi dan saling bergantung, tetapi dalamwaktu yang sama mereka mempunyai beberapa potongan dari perilakukekeluargaan mereka yang mandiri.
4. Pendidikan Keluarga
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalammasyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangkamenanamkan norma dan berbagi aneka macam kudang kecepeasaan dan perilakuyang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga danmasyarakat.
Dalam buku TheNational Studi on Family Strength,Nick dan De Frain mengemukakan beberapa hal wacana pegangan menujuhubungan keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu:
- Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga
- Tersedianya waktu untuk bersama keluarga
- Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak
- Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak
- Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi
Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana memmemberikankan beberapa fungsi pada pendidikan
keluarga yangterdiri dari fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,memperkenalkan dan ekonomis.
Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi palingpenting lantaran sangat bersahabat kaitannya dengan edukatif, memperkenalkan danprotektif. Jika fungsi keagamaan sanggup dijalankan, maka keluargatersebut akan mempunyai kedewasaan dengan pengukuhan pada suatu sistemdan ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalamkehidupan sehari-hari.
Penanaman iktikad semenjak dini telah dijelaskhebat dan luar biasaam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:
Artinya: Dan Ibrahim telah mepeninggalankan ucapan kepada anak-anaknya, demikian juga Ya’kub. Ibrahim berkata: haianak-anakku, sesungguhnya Allah telah menentukan agama ini bagimu, makajanganlah kau mati kecuali dalam keadaan Islam.
Secara garis besar pendidikan dalam keluargadapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Pembinaan Akidah dan Akhlak
Mengingat keluarga dalam hal ini ludang kecepeh dominanadalah seorang anak dengan dasar-dasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti dan sanggup memahami sesuatu, maka al-Ghazali memmemberikankanbeberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengancara memmemberikankan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahamandiawali dengan hafalan terludang kecepeh berlalu dan silam (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).
Artinya: Jagalah diri kalian dan keluargakalian dari kepanasannya api neraka
Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasardalam bukunya.
Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid padaanaknya.
Kedua, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.
Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan penilaian-penilaianpengorbanan dan perjuangan.
Akhlak yakni implementasi dari iman dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan training watak anak.Keluarga dilaksanakan dengan pola dan teladan dari orang tua.Perilaku sopan santun orang renta dalam pergaulan dan kekerabatan antaraibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakanbahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang sanggup dijadikanteladan ataupunidola bagi mereka.
2. Pembinaan Intelektual
Pembinaan intelektual dalam keluarga memgangperanan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baikintelektual, spiritual maupun sosial. Karena insan yang bermutu dan berkharismaakan menerima derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujadalah yang berbunyi:
Artinya: Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang memberikanman dan orang-orang yang memberikanlmu diantarakalian.
Nabi Muhammad juga mewajibkan kepadapengikutnya untuk selalu mencari ilmu hingga kapanpun sebagaimanasabda dia yang berbunyi:
3. Membinaan Kepribadian dan Sosial
Pembentukan kepribadian terjadi melalui prosesyang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi ludang kecepehbaik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksinalar watak jiwa dan dampak yang melatarbelakanginya. Mengingathal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjagasentimental diri dan jiwa seseorang.
Dalam hal yang baik ini adanyaKewajiban orang renta untuk menanamkan pentingnya memmemberikan supportkepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda danbelum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocokdilakukan pada anak semenjak dini supaya terbiasa berprilaku sopan santundalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang renta mampudengan mengajarkan supaya sanggup berbakti kepada orang renta supaya kelak sianak sanggup menghormati orang yang ludang kecepeh renta darinya.
Dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun terjadi dalam dunia pendidikan. Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dianggap sebagai representasi ilmu agama Islam, sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu umum. Akibat dari itu tiruana yakni adanya beban yang sangat berat bagi guru yang mengajar pelajaran pendidikan agama Islam, yaitu seperti sebagai penanggung tpendapat knorma dan sopan santun terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin agama.
4. Kudang kecepejakan dalam bidang pendidikan
Berkaitan dengan pengembangan imtak dan watak mulia maka yang perlu dikaji ludang kecepeh lanjut ialah kiprah pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan penerima didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan penilaian-penilaian pedoman agamanya dan/atau menjadi sangat menguasai ilmu agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu materi kajian dalam tiruana kurikulum pada tiruana jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh penerima didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.
Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran yakni bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan wacana agama akan tetapi bagaimana mengarahkan penerima didik supaya mempunyai kualitas iman, taqwa dan watak mulia. Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan wacana agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa supaya mempunyai keimanan dan ketakwaan yang berpengaruh dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan watak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.
Maka dikala ini yang mendesak yakni bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para guru Pendidikan Agama Islam untuk berbagi metode-metode pembelajaran yang sanggup memperluas pemahaman penerima didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus sanggup membentuk watak dan kepribadiannya.
Pemerintah Malaysia, Jepang, Vietnam, Singapura, dan lainnya memosisikan guru sebagai langsung terhormat dengan honor yang tinggi. Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (dollar Vietnam) setiap bulan, sementara kebutuhan hidup untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong. Guru di Jepang digaji 200.000 yen per bulan, sementara kebutuhan hidup hanya 100.000- 150.000 yen untuk satuan keluarga.
Bagaimana di Indonesia? Guru yang lolos sertifikasi pendidik memang mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan; tetapi yang belum tersertifikasi tidak memperoleh kenaikan pendapatan berarti dan guru yang demikian ini jumlahnya sangat banyak dalam skala nasional.
Keadaan itu memmemberikankan citra mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata surga. Politik pendidikan kita belum bisa memmemberikan berharap nyata atas kemajuan bangsa ini pada masa depan.
- Dari kesadaran
Bagaimana membangun politik pendidikan yang sehat? Ada banyak cara, tetapi tiruana berawal dari kesadaran para penentu kudang kecepejakan; yaitu direktur dan legislatif. Mereka harus bersikap ”sadar didik” (sense of education) menyadari pentingnya pendidikan untuk membangun manusia.
Ilustrasi konkret: meski UU Sisdiknas dan Undang-Undang Dasar menentukan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari RAPBN, ternyata angka itu tidak dipatuhi. Ini memperlihatkan direktur di sentra tidak menaruh kepedulian optimal terhadap pendidikan. Adanya ratusan kabupaten/kota yang tidak mengalokasi anggaran pendidikan secara memadai memperlihatkan direktur kawasan pun tidak mempunyai kepedulian yang optimal terhadap pendidikan.
Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan pernah menciptakan keputusan ”aneh”, yaitu memasukkan honor pendidik ke dalam anggaran pendidikan; padahal Pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas jelas-jelas menyebutkan honor pendidik tidak menjadi potongan dari dana atau anggaran pendidikan.
Realitas lain menunjukkan, meski kita sudah merdeka ludang kecepeh dari 60 tahun, masih banyak gedung sekolah yang roboh, anak miskin yang tidak bersekolah, lembaga pendidikan yang tidak mempunyai perpustakaan, perguruan tinggi tinggi yang miskin sarana dan prasarana, dan sebagainya.
Itu tiruana terjadi lantaran banyak direktur dan legislatif di sentra dan kawasan tidak mempunyai kepedulian yang memadai terhadap pendidikan. Kalau negara kita ingin maju, politik pendidikan kita harus sehat; dan bila politik pendidikan kita ingin sehat, para direktur dan legislatif sebagai penentu kudang kecepejakan harus mempunyai janji dan kepedulian yang memadai terhadap pendidikan.
- Kepentingan sepihak
Soal inkonsistensi, gotong royong sudah terjadi semenjak dulu. Knorma dan sopan santun masih dijajah Belanda, info pemerataan terkait aksesibilitas pendidikan pernah dibahas Kongres ke-3 Pendidikan Hindia Belanda di Weltevreden (Jakarta), 29/9-2/10 1924. Pertanyaan pedagog Belanda mengundang perdebatan dalam forum.
Pertama, “Apa yang sanggup dilakukan untuk mendidik pelajar dan siswa menjadi warga yang baik?”
Kedua, “Apa yang sanggup dilakukan untuk meningkatkan mutu evaluasi pendidikan (opvoedkundige waarde) bawah umur pribumi?’
Pertanyaan pertama menunjuk posisi instrumental pendidikan, membentuk pelajar dan siswa dalam “keadaan jadi rakyat (onderdaanschap) Hindia Belanda yang memahami negeri Belanda dan tidak menentang pemerintah” (proceeding Kongres, hal 104- 105).
Pertanyaan kedua menekankan pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan anak- anak pribumi.
Peserta kongres keturunan Belanda terbagi atas dua pertanyaan. Namun, bagi beberapa penerima pribumi, pengertian dan klarifikasi kedua pertanyaan itu sama.
Pertanyaan pertama kental nuansa ideologi kolonial. Pertanyaan kedua, meski menunjuk anak- anak pribumi secara eksplisit, tidak bertujuan memperbaiki pendidikan mereka. Kudang kecepejakan dan praktik pendidikan pemerintah kolonial Belanda tetap segregatif, diskriminatif, tidak merata dalam mutu maupun akses. Sekolah dikelompokkan dalam pilar sosial (verzuiling) sebagai prakondisi politis yang menghambat jalan masuk pendidikan kebanyakan anak pribumi. Peristiwa itu mengingatkan, upaya meningkatkan aksesibilitas sering tidak menyentuh penyelesaian problem faktual pendidikan dalam masyarakat.
- Cakrawala masyarakat
Kini problem aksesibilitas pendidikan di Indonesia terkait daya beli masyarakat. Perluasan jalan masuk pendidikan tidak mungkin terjadi tanpa menaikkan daya beli. Inilah kasus faktual pendidikan kita. Pada perspektif lain, soal aksesibilitas pendidikan tak terpisahkan dari multidimensionalitas kasus masyarakat. Tergesernya pendidikan dalam prioritas dipengaruhi pandangan dan berharap masyarakat atas hasil pendidikan. Ungkapan “buat apa sekolah, toh jadi penganggur” seperti logis lantaran payahnya pasar kerja Indonesia dikala ini. Fakta bahwa sejumlah terdakwa koruptor berpendidikan tinggi bagai menguatkan pendapat pendidikan formal tidak membawa kemaslahatan masyarakat.
Pandangan dan berharap menyerupai itu tidak sepenuhnya sempurna alasannya menekankan pendidikan sebagai penyelesaian setiap kasus hidup. Meski demikian, aksesibilitas pendidikan bukan melulu kasus pendanaan sebagai tanggung tpendapat pemerintah.
Aksesibilitas menyangkut seberapa dalam masyarakat menganggap pendidikan penting dan perlu. Ia dibatasi cakrawala dan sesuai ketentuan masyarakat wacana kehidupan bermutu dan berkharisma. Artinya, aksesibilitas pendidikan terkait mindset dan kesadaran masyarakat wacana dimensi-dimensi kehidupannya. Karena itu, pembenahan pendidikan bukan proses mandiri. Pembaruan menyeluruh melalui pemerataan, peningkatan aksesibilitas, perbaikan kemudahan makro dan mikro, harus memperlihatkan kerangka kolaborasi dengan bidang-bidang lain dalam visi pembangunan berkelanjutan (Laporan Konferensi PBB, No A/CONF.151/26, Vol. I, 1992).
Selain itu, tuntutan terhadap pemenuhan tanggung tpendapat pemerintah dalam pendanaan perlu diimbangi perbaikan oleh siapa pun yang peduli. Ekses privatisasi terhadap aksesibilitas pendidikan sanggup dikurangi lewat pendanaan dan keterlibatan sekaligus.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Pengertian dari pendidikan keluarga adalahproses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unitsosial terkecil dalam masyarakat. Sebabkeluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalammenanamkan norma dan berbagi aneka macam kudang kecepeasaan dan prilakuyang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluargasebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaanseseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentukpandangan hidup seseorang meliputi training akidah, akhlak, keilmuandan kreativitas yang mereka miliki.
Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendirisecara garis besar sanggup dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
- Pembinaan akdah dan akhlak
- Pembinaan intelektual
- Pembinaan kepribadian dans osial
DAFTAR PUSTAKA
J. Goode, William, SosiologiKeluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Muhaimin, Pemikiran PendidikanIslam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung:Trigenda Karya, 1993.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 1985.
Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Mei 2009, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/02/04165378/politik.pendidikan.indonesia
(Harian Kompas, 9 Nopember 2006)
http://agussuwignyo.blogsome.com/2006/11/15/watak-politik-pendidikan-pemerintah/trackback/
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 702.
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993, hlm. 127.
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 33.
Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandatama, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 107.
Advertisement