-->

Info Populer 2022

Tasawuf Sebagai Terapi Membangun Etika Mulia

Tasawuf Sebagai Terapi Membangun Etika Mulia
Tasawuf Sebagai Terapi Membangun Etika Mulia
Tasawuf Sebagai Terapi Membangun Akhlak Mulia

Secara alamiah insan merindukan kehidupan yang hening dan sehat, baik jasmani maupun rohani, kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan mengatakan bahwa peradaban insan yang semakin maju berakibat pada semakin kompelksnya gaya hidup manusia.


Bersama dengan pesatnya modernisme kehidupan insan harus menghadapi persaingan yang amat ketat, pertarungan yang amat tajam, satu keadaan yang menjadikan kegalauan dan kegelisahan.

Diantara ciri kehidupan modern yaitu berlangsungnya perubahan yang amat cepat dan datangnya tuntutan yang terlalu banyak serta segala sesuatu terkesan serba sementara. Tidak terjamin kepastiannya. Hal itu tiruana mengakibatkan insan tidak lagi mempunyai waktu aygn cukup untuk merenung wacana diri sendiri sehingga insan simpel letih jasmani dan letih mental.

Sedangkan gerakan-gerakan yang memadai pada ketika tersebut melahirkan sebuah ge¬rakan yang ingin mengembalikan kecenderungan parsia¬listik rasionalisme Cartesian dan sains Newtonian kepada kerangka pikir holisme yang irasional (intuitif) dan kontrasains. Selain itu, sejalan dengan kecenderungan New Age yang juga menerpa wilayah-wilayah yang sama, gerakan Aquarian ini memperkenalkan kembali kepada masyarakat modern aneka macam tradisi dan budaya pramo¬dern menyerupai penyembuhan holistik, biofeedback, meditasi, dan yoga.

Kalau dilacak ludang keringh jauh, ketiga gerakan ini sedikit banyak bersumber dari suatu gerakan yang ludang keringh dini, yakni Teosofi, yang diprakarsai oleh seorang Madame Blavatsky pada 1830. Gerakan ini berkembang ke seluruh dunia dan melahirkan kecenderungan kepada spiritualisme, perenialisme—yakni kepercayaan kepada sumber-tunggal tiruana agama dan kebenaran—bahkan kesatuan agama-agama, serta kepercayaan dan praktek-praktek esoteristik (kebatinan).

Di sisi lain, peradaban manusia, khususnya di perkotaan, bergerak ke arah kehidupan modern dengan segala konsekuensinya—baik dan buruk. Kemakmuran, kemajuan teknologi, kegampangan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, tapi juga kompetisi makin ketat yang melahirkan pressure yang terkadang tidak terta¬hankan, gaya hidup instant dan serba cepat—termasuk hal konsumsi makanan—yang tidak sehat dan menjadikan frustasi, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dalam keluarga dan berpengenalan, kerusakan ekologis, dan sebagainya.
   

Tasawuf pada masyarakat modern

Menurut seorang pakar Hussein Nashr, pada final perang dunia II sanggup dijumpai dua kelompok mahasiswa di Universitas di Negeri kaum Muslim yang mengalami modernisasi sekuler, pertama yang anti Islam dan yang kedua muslim tetapi tidak respek kepada syariat Islam, dan keduanya menentang tasawuf.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan antara lain :

  1. Disentegrasi skor-skor kebudayaan barat serta kekecewaan yang dirasakan akhir modernisme
  2. Ancaman malapetaka yang di bawah oleh peradaban Barat, dan firasat makin bersahabat anaman itu dan 
  3. Bukti adanya ketidak jujuran intelektual Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok itu, dan sekarang mereka justru nampak haus terhadap tasawuf, atau sekurang-kurangnya sudah ada perilaku gres yang ludang keringh positif terhadap tasawuf.

Pada gilirannya, tiruana ekses itu menggoyahkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Se¬bagaimana dicatat oleh Tim American Psychological Association (APA), kadab mengajukan proposal mengenai perlunya dikembangkan psikologi perkotaan (urban psychology), kemajuan di perkotaan ternyata telah membawa juga bersamanya alienasi insan modern dari dirinya sendiri. Pada puncaknya, hal ini meningkatkan anxiety, depresi, dan problem-problem mental-psikologis lainnya.

Dari  hadits riwayat Imam Buhkhori wacana Islam, kepercayaan dan Ihsan nampaklah bahwa ketiga ilmu, yaitu Fiqhi, Ilmu Ushuludin dan tasawuf telah sanggup menyempurnakan ketiga simpulan agama Islam.

 Islam diartikan oleh hadist itu ialah mengucapkan Syahadat, mengerjakan sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan naik haji. Untuk mengetahui ini, sehingga kita mengerjakan suruhan agama dengan tidak membuta: kita pelajarilah Fiqhi. Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul-rasul dan kitab dan kepercayaan kepada Hari Kiamat dan Takdir, jelek dan baik mesti terjadi, sebab ketentuan Tuhan: kita pelajarilah Ushuludin, atau ilmu Kalaam.

Ihsan yaitu kunci dari tiruananya, yaitu: Bahwa kita mengabdi kepada Allah seperti Allah itu kita lihat di hadapan kita sendiri. Karena meskipun mata kita tidak sanggup melihat Allah, namun tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam Tasauf.

Itulah tali berpilih tiga: Iman, Islam dan Ihsan. Dicapai dengan tiga ilmu, Fiqhi, Ushuludin dan Tasauf. Selain yang telah kita sebutkan di atas terdapat pula beberapa nama lain, diantaranya: Hasan Basri-wafat tahun 110 H(721 M), Malik bin Dinar- wafat th  181 H (792 M), Ibrahim bin Adham –wafat th. 161 H. (772 M), Zin Nun al Mishri, Yazid Bustami, Yahya bin Mu’adz, Syech Junaid al Bagdhadi, Al Hallaj, Imam Ghozali,  Syech Muhyiddin Ibnu Arobi, Suhrawardi, Jalalludin Rumi, Fariduddin al Athar, Sari as Saqoti, Abdurrahman Jami, Rabiah al Adawiyah, dll.

 Dari tasawuf inilah bermunculan thoriqoh-thoriqoh menyerupai Thoriqoh Qodiriyyah, Thoriqoh Bustamiyah, Thoriqoh Suhrawardiyah. Thoriqoh Naqsobandiyah, Thoriqoh Maulawiyyah,dll.

Tasawuf Modern

 Aslinya”Bahagia” di susun mulai 1937 di majalah “Pedoman Masyarakat”. Pendapat-pendapat wacana Bahagia :

  • Orang miskin mengggap senang yaitu dari kekayaan
  • Pada nama yang harum
  • Orang sakit menganggap senang itu ada pada kesehatan
  • Orang yang berdosa menganggap senang itu ada pada membersihkannya dosa
  • Penganjur rakyat menganggap senang itu yaitu kemerdekaan dan kecerdasan umat

Yahya bin Khalid seorang Wazir yang masyhur di dalam Daulat Bani Abbas beropini : “Bahagia yaitu sentosa perangai, berpengaruh ingatan, bijaksana akal, hening dan sabar menuju maksud”

Zaid bin Tsabit pakar syair Rasulullah saw berkata “Jika petang dan pagi seorang insan telah beroleh kondusif sentosa dari gangguan manusia, itulah ia orang yang bahagia”

Ibnu Khaldun beropini : “Bahagia ialah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan” Imam Ghozali beropini :”Bahagia dan kelezatan sejati ialah jikalau mengingat Allah”  Menurut Rasulullah saw, senang yaitu tergantung derajat akalnya.
Advertisement

Iklan Sidebar