-->

Info Populer 2022

Biografi Ibnu ‘Arabi - Profil

Biografi Ibnu ‘Arabi - Profil
Biografi Ibnu ‘Arabi - Profil
BIOGRAFI IBNU ‘ARABI - Profil

A.    Rifayat Hidup Ibnu ‘Arabi
Nama tidak ada yang kurangnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut beliau sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah usang digunakan oleh para penulis Barat, sebagian mungkin menggandakan gaya pengarang Turki dan Iran, namun abreviasi ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya yang dikenal dan banyak digunakan, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim (Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi mencar ilmu pada sepupu dari tokoh ini. 1 (Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al Akbar Ibnu ‘Arabi, terj. Tri Wibowo (Jakarta : Murai Kencana, 2001) hlm. 43. Selanjutnya lihat footnote no 3 dalam buku ini hlm. 331)

Dari nama tidak ada yang kurang tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang mengaguminya Ia dimemberikan gelar, antara lain : Muhyi-Din (Penghidup Agama) dan Syaikh al Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu al’Arabi. Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn al’Arabi (dengan Al), Ibnu’Arabi (tanpa al) ataupun Ibn’Arabi saja. 2 (Secara konsisten penulis akan memakai sebutan Ibnu ‘Arabi saja, dengan alasan sebutan ini banyak digunakan dan memperringan dan sepele dalam ejaan)

Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 bulan puasa 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 m, di Mursia, Spanyol belahan tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.3(Kautsar Azhari Noer, Ibn Al’Arabi, Waĥdatul wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina,1995 ) hlm. 17) Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya terang merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya sepertinya dihabiskan di tengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibnu Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri dengan proteksi tentara bayaran kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid), leluhurnya yang dikenal dan banyak digunakan pada era ke XI, Ibnu Mardanisy berdiam di Mursia dan Valencia dan oleh orang-orang Katolik dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan  raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela kerajaannya melawan kekuatan gres dari Al Muwahidin, meskipun kekuasaanya semakin surut knorma dan sopan santun Ibnu ’Arabi lahir. Dinasti Al Muwahidin berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko. Pengikut dari pemimpin keagamaan Ibnu Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara hingga Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibnu ’Arabi, Al Muwahidin telah membangkitkan dan mengkosolidasi kembali persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Katolik di utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai Ibukota lokal dan membangun stabilitas diseluruh tempat Afrika Utara.4

 Nama tidak ada yang kurangnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu  Biografi Ibnu ‘Arabi - Profil


Pada tahun 1172 Ibnu Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan Al Muwahidin. Ayah Ibnu’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibnu ’Mardanisy yang terkemuka, sepertinya mengalihkan kesetiannya pada sultan Al Muwahidin, Abu Ya’qub Yusuf I, dan menjadi salah satu pesaran militernya. Pada tahun itu juga tiruana keluarganya pindah ke Sevilla, sentra kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan Al Muwahidin di Spanyol. Program-program pembangunan gres yang didanai oleh sultan ; ibarat memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara banyak sekali ras, dan kultur dimana penyanyi dan penyair berbaur dan bersama dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, semenjak usia 7 tahun Ibnu ’Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama dan filsafat. Knorma dan sopan santun komunikasi massa sebagaimana kita kenal kini belum ada lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla era ke dua belas pada masa Ibnu ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris dan New York dimasa kini – sebuah adonan yang luar biasa dari banyak sekali orang, bangunan dan peristiwa. 5

Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan ibarat lazimnya bawah umur muda yang gres tumbuh. Pendidikannya ialah pendidikan sesuai ketentuan untuk keluarga muslim yang baik, meskipun sepertinya ia tidak mencar ilmu disekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang kemudian sangat beliau cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.6

Sejak menetap di Sevilla knorma dan sopan santun berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota sentra ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana dikenal dan banyak digunakan mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla ialah suatu sentra sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.7

Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melaksanakan perjalanan ke banyak sekali tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah knorma dan sopan santun berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di Kordova.8 Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf  besar Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari tiruana tokoh era pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling dikenal dan banyak digunakan di Eropa, lantaran ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, norma dan sopan santun, nalar – dan dan ulasan-ulasannya kuat luar biasa terhadap Eropa knorma dan sopan santun orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles.9 Percakapan Ibnu ‘Arabi dengan filsuf  besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan  dan kontradiksi asasi antara jalan budi logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi pemikiran Islam secara keseluruhan kedalam 2 cabang. Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat membuktikan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman angker Ibnu’Arabi, yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat bekerjasama satu sama lain dalam kesadaran metafisisnya.  Pengalaman-pengalaman visioner seramnya bekerjasama paling erat dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibnu’Arabi ialah seorang seramus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa atau ludang kecepeh tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terdalam dalam kekerabatan dengan struktur metafisikanya kedalam waĥdatul wujūd.10

Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun. Dia menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis ludang kecepeh dari 150 tahun sesudah wafatnya, diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu knorma dan sopan santun ikut pesta makan-makan bersama  teman-temannya dan sebagaimana kudang kecepeasaan di Andalusia, sesudah hidangan daging kemudian disajikan anggur. Saat beliau hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba beliau mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena ketakutan mendengar bunyi yang tegas ini, beliau lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang ibarat sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal disana sendirian melaksanakan khalwat, melaksanakan zikir dan hanya keluar dikala shalat.11

Ibnu’Arabi sepertinya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan dijanjikan kedudukan sebagai ajun untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan merupakan masa ia melaksanakan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas, namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi. Ini ialah masa yang hampir tiruana insan niscaya mengalami, supaya mereka memahami pengertian dan klarifikasi kejauhan dari Tuhan dan lantaran itu memahami pengertian dan klarifikasi kedekatan dengan Tuhan.12

Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memmemberikannya keputusan bundar ialah dikala ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova.

Alasan saya menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu ialah sebagai memberikankut : saya pergi bersama tuanku, Panglima (Al Muwahidin) Abu bakar Yusuf bin Abd al Mu’min bin Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova, dan saya melihat beliau bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas (khatir) menerpaku (sehingga) saya berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana dihadapan Allah, maka dunia ini tidak artinya”. Lalu saya meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu saya mengikuti Jalan ini.13

Begitulah, semenjak dikala itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan pedoman yang dimemberikankan oleh Isa, Musa dan Muhammad.

Pada 590 H (1193) knorma dan sopan santun pikiran-pikirannya telah mengkristal ia berkelana mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui Syeikh Abu Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke banyak sekali kota di Andalusia ia ingin menyeberangi maritim dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf,14  yang barangkali ialah Syeikh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan ialah seorang yang sangat kuat pada diri Ibnu’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.15  Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan Abu Madyan secara fisik tidak pernah tercapai – bahkan pedoman Abu Madyan diperolehnya hanya dari pelajar dan siswa-pelajar dan siswanya yang nota bene ialah guru-gurunya, ibarat A Mawruri, Al Kumi, dan Al Sadrani – akan tetapi Ibnu’Arabi meyakini bahwa Abu Madyan mengenalnya bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.16 Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibnu’Arabi dengan aliran Neopatonisme.

Dari Bugia Ibnu’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia.  Disana beliau mengkaji karya seorang sufi politisi Abu al Qasim Ibnu Qushai, Khal’an Na’lain (melepas kedua shebat dan luar biasa). Tokoh inilah yang dikenal dan banyak digunakan pembelotannya terhadap dinasti Al Murabithun di Andalusia Barat.17  Selain mengakaji karya tersebut pada tahun yang sama Ibnu’Arabi mengunjungi beberapa pelajar dan siswa Abu Madyan ibarat Abd al Aziz al Mahdawi dan Abu Muhammad Abdallah al Kinani. Dituturkan bahwa selama berada di Tunisia, Ibnu Arabi bertemu dengan nabi Khidir. Pertemuan kemudian terjadi lagi knorma dan sopan santun pada final 1194 Ibnu’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali Ibnu’Arabi telah ditemui oleh Khidir, dalam tingkatan yang berada secara fisik. Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada siang hari, dimana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan ketiga Khidir memperlihatkan di atas udara. Tampaklah bahwa ada tahapan dari pedoman Khidir dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibnu’Arabi kedalam pengetahuan misteri Illahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut.18

Sejak dikala itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan inspirasi atau inspirasi yang diterimanya kedalam goresan pena supaya bisa dibaca para sahabatnya. Di final 1194 sesudah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid al Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah) untuk al Mawruri.

Dalam periode sepuluh tahun semenjak pengunduran dirinya dari pemerintahan Al Muwahidin dan memasuki jalan rohani, Ibnu ’Arabi melaksanakan perjalanan yang menandai masa kode dalam kudang kecepejaksanaan kenabian. Dia mulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi, dan sesudah bertemu dengan Hud dan tiruana nabi, ia hasilnya hingga pada warisan Muhammad. Terkadang proses ini berada dibawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan pribadi dari para nabi itu sendiri. Ibnu ’Arabi dengan terang melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kudang kecepejaksanaan khusus dari para nabi dan rasul. Bagi beliau kudang kecepejaksanaan-kudang kecepejaksanaan itu tidak lain ialah ekspresi intergral dan menyatukan kudang kecepejaksanaan Muhammad. Warisan kenabian ini membentuk basis riil dari tiruana tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Isa, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Musa, dikala cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, beliau hasilnya hingga pada warisan tepat dari Muhammad.19

Knorma dan sopan santun ayahnya meninggal dunia, kemudian disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibnu’Arabi mendapatkan kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara perempuannya, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan duniawi juga muncul, knorma dan sopan santun terjadi ketegangan politik antara Al Muwahidin di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibnu ’Arabi menerima proposal pekerjaan dalam pasukan pengawal sultan. Karena teringat ucapan Salih al Adawi, Ibnu ’Arabi menolak proposal itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara perempuannya menuju  Fez dan tinggal disana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggung tpendapat duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.20

Fez sepertinya menandai periode kebahagian yang luar biasa dalam kehidupannya, dimana beliau bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan berbaur dan bersama dengan orang-orang yang sepaham dan mempunyai aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muhammad – beliau sendiri juga semakin jauh masuk kedalam warisan ini. Di Masjid Al Azhar di Fez beliau memasuki tingkatan gres dari visi di dalam bentuk cahaya – visi cahaya ini ialah homogen rasa penberlalu dan silaman dari perjalanan cahanya yang besar. Di tahun memberikankutnya, pada usia tiga puluh tiga tahun, beliau mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari tiruananya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muhammad yang dikenal dan banyak digunakan. Perjalanan ini kemudian tertuang dalam kitab Al Isra (Kitab Perjalanan Pertama).21

Setelah di anugerahi visi yang paling terang perihal takdirnya, Ibnu’Arabi kembali ke semenanjung Limemberikana untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova dikala pemakaman Ibnu Rusyd. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya Al Habasyi mereka menuju ke Granada dan kembali  bertemu dengan Abdallah al Mawrauri. Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibnu’Arabi menerima visi yang memperkuat pengertian dan klarifikasi dari epilog para wali.22  Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negri kelahirannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, sesudah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.23

Di final perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi hasilnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka ialah Abu Syuja’ al Imam al Muwakkil yang mempunyai seorang putri anggun dan cerdas berjulukan Nizam. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān al Asywāq.24

Knorma dan sopan santun saya tinggal di Makkah pada tahun 599 H, disana saya bertemu dengan banyak laki-laki maupun perempuan yang sangat terhormat, beradab, dan saleh. Tak ada satupun diantara mereka yang membangga-banggakan diri sekalipun mereka mempunyai banyak sekali keutamaan dan kemuliaan ;  orang-orang ibarat Abu Syaja’ Zhahir bin Rustam bin Abu Raja al Isfahani dan saudara perempuannya, binti Rustam, seorang perempuan bau tanah alim, seorang contoh cemerlang di kalangan kaum perempuan …. Syaikh ini mempunyai seorang anak gadis, seorang dara semampai yang memikat perhatian orang yang melihatnya, yang kedatang annya menerangi pertemuan-pertemuan dengan sinar cemerlang, yang mempesona dan membuat terkagum-kagum tiruana orang yang bersama dengannya dan menawan kesadaran tiruana orang yang memandanginya. Namanya ialah Nizam (keselarasan) dan nama panggilannya ialah ‘Ayn al Syams (mata sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak diantara orang-orang bijak di Tanah Suci itu.25     


Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi bahu-membahu karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.26     

Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini ialah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul Abdāl, Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental ialah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan pribadi dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari insiden dikala ia bertawaf di Ka’bah, dimana beliau bertemu dengan figur cowok misterius yang memmemberikannya pengetahuan perihal pengertian dan klarifikasi isoterik dari al Qur’an. Di samping itu, sebuah visi perihal nabi Muhammad metidak ada yang kurangi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai epilog kewalian.27 Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara beliau dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia (daerah Rum). Syakh ini ialah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi pesaran raja di Istana Seljuk, yang suatu dikala nanti akan menjadi ayah dari Sadruddin al Qunawi, salah seorang tokoh kunci diantara pelajar dan siswa-pelajar dan siswa Syaikh al Akbar.28

Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad dan tinggal selama 12 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memmemberikannya pentahmampun al Khidr untuk ketiga kalinya.29  Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan  tiga karya, yaitu Tarazzulah al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal Jamāl, dan kitab Kunh mā lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka  (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara melalui Dyarbakir, dan Malatya hingga di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi menyusun Risalah al Anwār (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhbungan dengan Ahaduddin Hamid al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke Yerussalem kemudian Hebron (disini berhasil menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan ibadah Haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat usang Ibnu’Arabi dari Andalusia yaitu Al Khayyat dan Al Mawruri.30 Tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak bersimpati pada Ibnu’Arabi, lantaran ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melaksanakan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada final tahun 1207 Ibnu’Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan mencar ilmu Hadist dan juga mengunjungi keluarga Abu Syuja’bin Rustam. Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun kemudian berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang disana.31

Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana beliau bertemu dengan guru sufi dikenal dan banyak digunakan Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang kitab Awarif al Ma’arif.32

Pada periode  antara 1213 – 1221 Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil kiprah membesarkan dan mendidik putra Majduddin, Sadruddin Qunawi yang dikala itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa usang kemudian sahabatnya Al Habasyi juga wafat.33

Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga final hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, tiruana telah menggerogoti kesehatannya. Kini beliau amat dikenal dan banyak digunakan dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus Al Malik al ‘Adl menawarinya untuk tinggal di Istana. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya besarnya Futūĥātul al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelasaikan puisinya Al Diwan al Akbar.34 Adapun Sadruddin al Qunawi yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhaduddin Kirmani, sahabat Ibnu ‘Arabi sekaligus guru Qunawi.

Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang pelajar dan siswa Ibnu ‘Arabi melaksanakan upacara pemakamannya.35

Tentang isteri-isterinya berdasarkan R.W.J. Austin yang sanggup diketahui ada tiga orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali dalam Futūĥātul al Makkiyyah II halaman 278 dan III halaman 235. Fathimah binti Yunus bin Yusuf ; putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imad al Din (Futuhat IV halaman 554). Dan seorang perempuan yang tidak diketahui namanya, putii seorang Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futūĥātul IV halaman 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya serta bagaimana nasibnya.36


B.    Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu ‘Arabi


Secara tipikal Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai seorang sufi. Dan pendapat ini relatif benar kalau kita memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada tambatan pemikiran dan praktek Islam yang menekankan pengalaman pribadi dari obyek-obyek iman.37 Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk artinya ibarat safa (suci) ; shaf (baris) suffah (penghuni masjid nabawi) : sophia (hikmah) ; atau suf (bulu domba) – tasawuf mengandung pengertian dan klarifikasi yang dalam yang merujuk pada kekebersihanan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia. Tasawuf secara umum ialah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laris insan dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas dan kebahagian rohaniah.38 

Dari sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas ialah benar kalau dikatakan bahwa Ibnu ‘Arabi ialah seorang tokoh sufisme. Karena kalau kita menyimak kembali riwayat hidupnya, ialah sosok yang menentukan jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada dikala kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kabahagiaan hakiki.

Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang ludang kecepeh sering dimasukkan dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi kalau ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof – ibarat halnya AE. Affifi yang memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah memperringan dan sepele untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat.

Dari segi epistemologi, sufisme atau tasawuf ialah hasil dari proses mujahadah (mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi. Sedangkan filsafat ialah hasil dari cara kerja budi (logika) dan argumentasi yang kuat. Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya, insan serta perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir rasional transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya ialah terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.

Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikiran sufisme, yaitu : Tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf filosofis atau falsafi. Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.39 Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil disamping perbedaan –perbedaan yang mendasar. Persamaannya ialah bahwa keduanya mengaku bersumber dari Qur’an dan Sunnah dan sama-sama berjalan al maqamat dan al ahwal. Perbedaannya ialah mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya. Penganut tasawuf sunni menyampaikan bahwa sedekat apapun antara seorang insan dengan Tuhannya mustahil jumbuh lantaran tidak satu esensi. Sedangkan penganut tasawuf filosofis menyampaikan bahwa insan berpadu dengan Tuhan lantaran insan tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari perbedaan instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan. Di satu pihak, tasawuf sunni cukup memakai pendapat-pendapat naqli dari pedoman Islam, cenderung ortodok dan sederhana dalam pemikiran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif dengan memakai analisis filsafat yang mereka kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.40

Cikal bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada era ketiga dan keempat Hijriyah. Pada dikala itu muncul dua aliran dalam tradisi asketisme. Aliran pertama melandaskan diri pada Qur’an dan sunnah dan memegang tradisi kalam dan fiqih dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi mula dan akar munculnya tasawuf sunni. Aliran kedua ialah aliran yang selain berprinsip pada Qur’an dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal yang metafisis yang disebut  union mystica. Aliran ini sering memperlihatkan abnormalitas (syathahat) sehingga menjadikan kontradiksi dan dianggap menyimpang dari pedoman Islam. Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf filosofis.

Kemudian pada era kelima Hijriyyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di tangan Abu al Hasan al Asyari (w. 324 H) dengan teologi Ahlus sunnah wal jama’ah dan mengkritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi ibarat Abu Yazid al Busthami dan Al hallaj, yang ungkapan-ungkapannya dikenal dan banyak digunakan ganjil. Pada era kelima Hijriyyah ini tasawuf aliran filosofis karam dan gres muncul kembali dalam bentuk lain, yaitu pribadi para sufi yang juga filosof pada era keenam Hijriyyah dan setelahnya.41 Mulai dikala itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan hingga pada puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada abad-abad memberikankutnya yakni Syaikh al Akbar Ibnu al ‘Arabi. Bahkan hingga dikala ini terus menjadi materi kajian yang aktual.

Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang bersal dari luar Islam ke dalam pedoman mereka, serta memakai terminologi-terminologi filsafat, tetapi pengertian dan penjelasannya telah diadaptasi dengan pedoman tasawuf mereka. Para sufi juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat Yunani ibarat Socrates, Plato dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya perihal emanasi. Selain itu mereka juga mempelajari filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun India, serta menelaah karya-karya filosof Islam, ibarat Al Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain.42  Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Arabi.

Dengan begitu sanggup dikatakan bahwa pemikiran Ibnu ‘Arabi sanggup dilihat dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita memakai kacamata tasawuf, maka pemikirannya sanggup dikategorikan tasawuf filosofis. Jika memakai kacamata filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.

Kita sanggup melihat dari segi tasawuf lantaran ia menjalani laris kehidupan rohani ibarat sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spiritual yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf (penyingkapan) dan dzauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibnu ‘Arabi sanggup disebut seorang filosof, lantaran selain beliau faham betul dengan teori-teori filsafat dari banyak sekali unsur sehingga bahasa yang digunakan ialah bahasa filsafat, tetapi juga pemikirannya menambah pada obyek-obyek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.

Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibnu ‘Arabi sanggup digambarkan sebagai filosof bertipe tidak beraturan (desultory) dan eklektik. Dikatakannya bahwa gayanya yang ambiquity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal, yaitu : pertama Ibnu ‘Arabi memakai istilah-istilah yang diambilnya dari banyak sekali sumber. Misalnya The Good-nya Plato, The One-nya Plotinus, substansi universal-nya Asy’ari dan Allahnya Islam. Kadang-kadang ia memakai satu kata untuk beberapa pengertian dan penjelasan, contohnya hakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu idea atau suatu ciri. Yang kedua, bahwa Ibnu ‘Arabi selalu berusaha merekonsiliasikan  dogma-dogma ortodok Islam dengan pemikiran panteistik. Dan yang ketiga, ia memakai bahasa yang puitis dan fantastis sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.43

Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibnu ‘Arabi bukanlah hal yang memperringan dan sepele. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan sanggup memmemberikankan citra yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan bersifat simbolis dan mengandung pengertian dan klarifikasi yang begitu dalam sehingga tidak ringan dan sepele dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya. Tidak mengherankan jika, pada suatu waktu di animo cuek di dewan legislatif Mesir terjadi perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibnu ‘Arabi diterbitkan secara bebas. Sebagian beropini boleh, sebagian melarangnya lantaran dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.44  Memang diharapkan sikap kritis dan ekstra hati-hati lantaran pembahasannya merambah hal-hal yang sangat mendasar dalam pemikiran, yaitu spekulasi perihal hakikat segala realitas. Itulah mengapa karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama dikalangan sunni yang nota bene dianut oleh lebih banyak didominasi umat Islam.

Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan Syi’ah dan sebagian dari luar Islam. Mereka mempunyai sikap yang ludang kecepeh menggembirakan terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk didalamnya Ibnu ‘Arabi. Hal ini antara lain disebabkan lantaran pandangan para sufi dianggap ludang kecepeh liberal yang mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun. Sehingga adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni kehidupan, lantaran hanya ada satu realitas yang mendasarinya.


C.    Karya-karya Ibnu ‘Arabi

Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibnu ‘Arabi ialah tokoh yang memmemberikan konstribusi besar terhadap tradisi intelektual secara tertulis. Separoh final dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai evaluasi sastra, intelektual dan spiritual yang tidak terpenilaian harganya. Memang ia ialah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya dibanding pemikir lain.

Namun hingga dikala ini belum ada jumlah niscaya yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibnu ‘Arabi. Berbagai angka telah disebutkan oleh para sarjana. L. Massignon, seorang orientalis Perancis mengemukakan, Ibnu ‘Arabi menulis sekitar 300 karya. Sementara C. Brockelmann mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya dalam karya bibliografinya yang berbahsa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang orisinil dan hanya 400 yang masih ada. Ibnu ‘Arabi sendiri dalam Ijazah li al Malik al Muzaffar menyebutkan 289 judul.45

Menurut SH. Nash, karya-karya Ibnu ‘Arabi bermacam-macam ukuran dari isinya: dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman hingga karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisis yang absurd hingga puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu meliputi perkara metafisika, kosmologi, psikologi, penafsiran terhadap Al Qur’an dan tiruananya bertujuan menjelaskan pengertian dan penjelasan-pengertian dan klarifikasi isoterik.46

Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu ‘Arabi menulis tidak kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak 30 buah, termasuk didalamnya master piece Futūĥātul al Makkiyyah dan magnum opus Fushūsh al Ĥikam.47

Futūĥāt al Makkiyyah (pembukaan Makkah) ialah karya Ibnu ‘Arabi yang menjadi perdebatan di dewan legislatif Mesir. Berisi perihal kehidupan spiritual para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan ibarat tafsir atas Al Qur’an, hadist dan fiqih. Menurut ratifikasi Ibnu ‘Arabi, karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H) sesudah Ibnu ‘Arabi mendapatkan visi perihal cowok dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama dan pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi usang kitab ini setebal 2.580 halaman. Dan atas prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Mesir diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam 4 jilid dengan pentahqiq Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour.48

Karya monumental kedua ialah Fushūsh al Hikam (untaian permata kudang kecepejaksanaan). Diakui Ibnu’Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap belahan mengajarkan perihal kudang kecepejaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari nabi Adam dan ditutup dengan Nabi Muhammad. Secara keseluruhan mempresentasikan kudang kecepejaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kudang kecepejaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muhammad. Karya ini dianggap sebagai intisari dari pedoman Ibnu ‘Arabi, yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.49

Selain dua karya utama tersebut, memberikankut ialah karya-karyanya yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang memberikansi perihal metafisika dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insya’al Dawair (lingkaran yang meliputi) Uqlah al Mustawfiz dan Tadbirah al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyyah)

Suatu kumpulan karya Ibnu ‘Arabi yang memberikansi perihal pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk absurd maupun simpel bagi penempuh jalan ruhani, terkumpul dalam Rasa’il Ibnu al Arabi. Diantaranya ialah kitab-kitab sebagai memberikankut :50

a.    Kitab Al Isra’ (Perjalanan malam)
Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian angker dan  pertemuan dengan realitas spiritual nabi di tujuh langit.

b.    Hilyah al Abdāl (perhiasan para pengganti)
Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam,lapar dan terjaga.

c.    Risalah al Anwār (risalah cahaya-cahaya)
Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi seruan seorang sahabat. Mendiskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non stop melalui banyak sekali tingkatan menuju kesempurnaan manusia.

d.    Kitab Al Fana’ fi al Musyahadah (fana’ dalam kontemplasi)
Ditulis di Bagdad pada tahun 1212 (608 H). Merupakan pemikiran mendalam atas surat ke 98. Mendiskripsikan mengalaman visi angker dan perbedaan orang-orang berpengetahuan riil dengan orang-orang intelek.

e.    Istilah al Shufiyyah (istilah sufi)
Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Malatya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah.

Karya-karya mengenai biografi para sufi yang hidup di zamannnya ialah Ruĥ al Quds (Ruh-ruh suci) dan Al Durrah al Fakhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan di menawarkan judul Sufis of Andalusia.

Turjumān al Asywāq ialah karya Ibnu ‘Arabi yang mengundang penafsiran negatif tentangnya, lantaran dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Nizam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu ‘Arabi menulis Dzakha’ir al Alāq.

Kitab Al Alif, kitab Al Ba’, kitab Al Ya’, ialah seni karya-karya ringkas, memakai sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H). Seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyyah yang berbeda-beda ibarat : ketunggalan (ahadiyyah), kasih (Rahman) dan cahaya (Nūr).

Fihrist al mu’allafah ialah katalog karya tulis yang dibentuk Ibnu ‘Arabi sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Di tulis pada tahun 1229/1230 (627 h) di Damaskus untuk pelajar dan siswanya Sadruddin al Qunawi.

Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya Ibnu ‘Arabi yang akan memakan tempat kalau dituliskan tiruana. Di bawah ini ialah karya-karya yang sanggup kami sebutkan :
  • Mashasid al Asrar al Qusdsiyyah (kontemplasi misteri kudus)
  • Anqa’Mughrib (burung anqa’ di barat)
  • Misykat al Anwār (relung cahaya)
  • Mawaqi’ al Nujūm (letak bintang-bintang)
  • Taj al Rasa’il (mahkota surat-surat)
  • Kitab Jalāl wa al Jamāl (keagungan dan keindahan)
  • Kitab Tajalliyah (kitab teofani)
  • Dan Awrat al Usbu’ (doa’ untuk seminggu)

D.    Unsur-unsur yang mensugesti pemikiran Ibnu ‘Arabi

Secara umum telah terbukti bahwa tasawuf merupakan fenomena spiritual dan kultural yang tunduk kepada banyak sekali faktor dan imbas yang melingkupi realitas sosial. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa pedoman dan prinsip Islam mempunyai kiprah utama di mata kaum muslimin yang dipegang dan dijadikan pedoman asasi, tetapi lingkungan Islam tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang masuk kemudian mensugesti tumbuh dan berkembangnya banyak sekali aliran tasawuf. Menurut Ibrahim Madkour, ada dua pembagian terstruktur mengenai besar yang menjadi faktor yang mensugesti tasawuf Islam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.51

Secara internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para sahabatnya yang berlandaskan pada pesan tersirat dan mauidzah yang terdapat dalam Al qur’an dan Al sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai pendapat untuk justifikasi atas tindakan maupun sikap mereka. Misalnya saja Al Muzammil : 1-8 yang mengajak untuk berdzikir dan memberikanbadah. Atau surat Al Mujadalah : 7 yang menggambarkan kedekatan kekerabatan insan dengan Allah. Adapun hadist-hadist yang dijadikan dasar pemikiran mereka perihal tujuan dari penciptaan makluk, ibarat hadist qudsi yang berbunyi :

“Aku (bagaikan) gudang yang tersembunyi, kemudian saya ingin dikenali, untuk itu saya membuat makluk, kemudian mereka mengenalku”52

Faktor-faktor eksternal yang mensugesti tasawuf diantaranya ialah tradisi Katolik yang sudah ludang kecepeh dulu muncul di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Peradaban India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam faktor eksternal ini ialah imbas dari filsafat Yunani,  terutama Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme.53

Klasifikasi faktor internal dan eksternal ini ditujuakan untuk tasawuf secara umum, meski demikian pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak sanggup dilepaskan dari faktor-faktor yang telah disebut di atas.

Secara eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang mensugesti pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu :
  1. Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
  2. Sufi-sufi pantheistik, ibarat Hallaj, Bayazid dan sebagainya.
  3. Asketik-asketik muslim.
  4. Theologia-theologia skolastik ibarat Asy’ari dan Mu’tazilah.
  5. Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa)
  6. Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina
  7. Isyraqiyah

Sedangkan sumner-sumber non Islam ialah filsafat hellenistik, terutama Neoplatonik dan filsafat Pilo dan Stoies.54

AE. Affifi tidak memmemberikan klarifikasi secara rinci mengenai unsur-unsur tersebut, tetapi menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi ludang kecepeh merupakan seorang Neoplatonis sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus Shafa. Pada sisi mistis gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam sentimentalnya, lantaran Ibnu ‘Arabi jauh ludang kecepeh besar sikap intelektualnya. Pada sisi nalar serta dalam hal norma dan sopan santun dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi memakai banyak sekali theologia-theologia muslim.55

Bagaimanapun juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang berusaha memadukan banyak sekali unsur – unsur pemikiran. Disamping pedoman Islam yang menjadi unsur mendasar dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga berasal dari pedoman Katolik kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita harus mengakui bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa adanya atau asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang diambil diadaptasi dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di analisa sehingga menghasilkan formula yang sanggup diklaim otentik sebagai hasil pemikirannya. Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung tidak beraturan dan sangat tidak ringan dan sepele dipahami, pedoman Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh banyak pemikir sebagai doktrin yang paling tidak ada yang kurang dan matang. Pemikiran Ibnu ‘Arabi digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual dari tokoh tokoh sebelumnya.56

Biografi Ibnu ‘Arabi - Profil
Advertisement

Iklan Sidebar